Tidak jauh berbeda dengan pemakaman di daerah suku asli Toraja yang berada di Tanah Toraja Sulawesi Selatan. Prosesi pemakaman suku toraja di bumi mekongga juga terbilang sangat meriah, mulai dari prosesi pemotongan tedong (kerbau) sebagai simbol persembahan kematian kepada Tuhan YME, dimana kerbau yang digunakan sebagai persembahan tidak ditentukan jumlahnya oleh Kepala Suku, namun tergantung kemampuan dari keluarga. Jenis tedong yang dipersembahkan adalah tedong bonga’ (sapi belang) atau kerbau hitam.
![]() |
Ekspedisi_Salah satu makam Suku Tana Toraja di
Kabupaten Kolaka_Kolaka_mitha
|
Warga suku toraja meyakini bahwa adanya pemakaman Auttudolo, yang berarti semakin banyak tedong yang digunakan sebagai persembahan maka semakin banyak pula kendaraan (tedong) yang digunakan menuju tempat kedudukan orang mati (fuya), sedangkan menurut kepercayaan agama Kristen, suku toraja yang menyembelih tedong lebih memaknai sebagai nilai sosial yaitu sebagai bentuk pelayanan berbagi ke keluarga ataupun kerabat yang berduka.
Selain tedong bonga’ maupun tedong hitam, babi juga dipersembahkan untuk simbol kematian, dimana setelah kedua jenis hewan ini disembelih akan dijadikan santapan keluarga, kerabat, dan warga sekitar yang berkunjung dengan harapan melupakan sejenak kepergian almarhum.
Di bumi Mekongga, Desa Watalara Kecamatan Baula Kabupaten Kolaka khususnya pada prosesi pemakaman adat toraja tidak menggunakan pesta kematian (Rambusulo) seperti di Tanah Toraja-Sulawesi Selatan, semenjak ditemukannya salah satu cara praktis pemakaman suku toraja di desa ini masyarakat sudah tidak menempatkan mayat di tempat ketinggian yang semula ditentukan sesuai dengan silsilah kebangsaannya termasuk orang yang pernah menduduki jabatan di pemerintahan, posisi pemakaman suku toraja di bumi Mekongga saat ini sudah tidak lagi ditentukan sesuai dengan ketentuan tersebut, dengan alasan sulit untuk dijangkau keluarga pada saat kunjungan di hari-hari tertentu. Di tempat ini pula tidak terdapat pemakaman di tebing batu yang di anggap cocok, karena tidak terdapat gunung yang bertebing dan masyarakat suku toraja pun menginginnya pelaksanaan prosesi pemakaman secara praktis, jenis pemakaman ini disebut pusara petene.
Tepat pukul 03.30 Wita, Tim Komunikasi Sosial Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi Sub Korwil IX/ Kolaka melihat langsung prosesi pemakaman salah satu almarhum yang meninggal sejak lima hari yang lalu yang dikebumikan sore ini, Rabu (27/03/13).
Sebelumnya sekitar pukul 03.00 Wita, Komandan Tim Komsos Letda PSK Hudin meminta izin kepada keluarga almarhum untuk turut andil dan melihat langsung prosesi pemakaman termasuk melakukan wawancara dan mendokumentasikan prosesi kegiatan tersebut.
“Iyye’ silahkan pak, kalau kita mau lihat-lihat atau mau ambil gambar tidak apa-apa ji, kita senang ji kalau ada pendatang bisa lihat asli budaya orang toraja” tutur keponakan almarhum Roy Marten (34 tahun).
Tepatnya lima hari yang lalu Drs. Firis (56 tahun) meninggal dunia. Sebelum dikebumikan almarhum disimpan di rumah duka dan dilakukanlah ibadah penghiburan satiap hari, kegiatan tersebut dipimpin oleh Pendeta dan majelis serta pujian (orang kristen). Setelah lima hari berlalu prosesi selanjutnya membawa mayat yang telah dipakaikan jas dan dimasukkan ke dalam peti mati kemudian dibawa ke gereja untuk dilakukan ibadah, selanjutnya dibawa ke pusara patene menggunakan ambulance. Pusara jenis patene milik keluarga ini berukuran ± 5x3 meter, pusara tersebut didirikan layaknya rumah huni warga pada umumnya.
![]() |
Ekspedisi_Peti mati yang akan dimasukan ke dalam
makam_Kolaka_mitha
|
Mayatpun dikonvoi menggunakan ambulance menuju pusara patene dengan meneriakkan suara-suara sebagai simbol kemenangan (Badong) sambil sesekali mengucapkan kata “pasulei” dalam bahasa toraja yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia “kembalikan”, maknanya tidak jauh berbeda dengan kepercayaan agama islam yaitu manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah pula.
Tempat pusara patene milik keluarga ini sebelumnya sudah ada dua mayat yang berada dalam pusara tersebut, satu orang anak dan satu orangtua dari almarhum, sebelumnya terdapat satu cucu yang dimakamkan ditempat yang berbeda sejak 4 tahun silam. Bersamaan dengan prosesi pemakaman ini pihak keluarga menginginkan agar disatukannya keempat mayat ini dalam satu pusara, maka dengan segera pihak keluarga menggali makam seorang cucu dan mengambil mayatnya untuk disatukan dalam peti Alm. Drs.Firis, dan sebagai pengganti tulang belulang yang telah di ambil maka digantikan dengan satu batang pisang.
![]() |
Ekspedisi_Peti mati sudah dimasukan ke dalam
makam_Kolaka_mitha
|
![]() |
Ekspedisi_Peti Jenazah yang baru dimasukan
kedalam makam bersama peti jenazah yang sudah dumasukan beberapa tahun yang
lalu_Kolaka_mitha
|
Prosesi pemakaman yang berlangsung ± 30 menit ini berlangsung sangat haru, para keluarga, kerabat, dan masyarakat yang berkunjung turut berbela sungkawa dan mendoakan almarhum.
Setelah prosesi pemakaman selesai Dantim Komsos Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi Sub Korwil IX/ Kolaka bersama rombonganpun pamit, pihak dari keluarga almarhum menyambut baik kunjungan tim Ekspedisi NKRI di Bumi Mekongga terutama ikut melihat prosesi pemakaman adat suku toraja secara langsung. (Andi Armita)
Salam Ekspedisi !!!